hai sahabat mia Maryati
sekarang kita akan membahas tentang hal-hal yang menyebabkan puasa batal:
1- Makan dan minum dengan sengaja
Yang disebut makan dan minum sebagai pembatal puasa adalah yang sudah
 makruf disebut makan dan minum[1] yang dimasukkan adalah zat makanan[2]
 ke dalam perut (lambung) dan dapat menguatkan tubuh (mengenyangkan)[3].
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang 
makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud 
meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang 
mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat 
mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau
 bercelak.”[4]
Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.[5]
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah 
dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan 
dan minum.”[6]
2- Muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) 
sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun 
apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.”[7]
Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri 
artinya dalam keadaan dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama 
tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. 
Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal.[8]
3- Mendapati haidh dan nifas
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79).
Penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Telah ada nukilan ijma’ 
(sepakat ulama), puasa menjadi tidak sah jika mendapati haidh dan nifas.
 Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang, puasanya batal.”[9]
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati 
haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas 
di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqadha’ puasa 
pada hari tersebut.”[10]
4- Jima’ (bersetubuh) dengan sengaja
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya 
secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan 
haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di 
kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui 
haramnya, maka tidak batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal 
puasa berupa makan.[11]
Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh (jima’) termasuk pembatal adalah firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا
 وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ 
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى 
اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
 hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) 
malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu 
beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.
5- Keluar mani karena bercumbu
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan
 bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan 
mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa
 bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi 
lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal 
jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan 
mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram 
seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan 
bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan 
intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan 
dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani 
seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau 
menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam
 (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak 
berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ 
(konsensus ulama).”[12]
Al Baijurimenyebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa walau karena bercumbu.[13]
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium 
pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini 
dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya 
tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium 
pasangannya.”[14]
Konsekuensi dari Melakukan Pembatal Puasa
Bagi yang batal puasanya karena makan dan minum, muntah dengan 
sengaja, mendapati haidh dan nifas, dan keluar mani karena bercumbu, 
maka kewajibannya adalah mengqadha’ puasa saja.
Sedangkan yang batal puasa karena jima’ (bersetubuh) di siang bulan 
Ramadhan, maka ia punya kewajiban qadha’ dan wajib menunaikan kafarah 
yang dibebankan pada laki-laki[15]. Kafarah atau tebusannya adalah 
memerdekakan satu orang budak. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua 
bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 
orang miskin.[16]
—
[1] Merokok termasuk pembatal puasa karena secara bahasa disebut 
syarbud dukhon (minum asap). Itu artinya merokok sudah termasuk minum. 
Ini pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin yang disebutkan 
oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Jibrin dalam Syarh ‘Umdatul 
Fiqh, 1: 584.
[2] Dalam Lisanul ‘Arob disebutkan,
أكلت الطعام أكلاً ومأكلاً
“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”
Ar Romaani dalam Al Mishbahul Munir berkata,
الأكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه، فبلع الحصاة ليس بأكل حقيقةً
“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika 
yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”
Dalam Al Mufrodhaat Al Ashfahani disebutkan,
الأكل تناول المطعم
“Makan adalah mencerna makanan.”
Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah
 dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula 
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Puasa itu meninggalkan makanan  dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903).
[3] Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui
 infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya 
karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum. Lihat 
Shifat Shoum Nabi, hal. 72.
[4] Majmu’ Al Fatawa, 25: 245.
[5] Lihat pembahasan dalam risalah Mufthirootu Ash Shiyam Al 
Mu’ashiroh karya guru penulis, Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil.
[6] HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155.
[7] HR. Abu Daud no. 2380, Ibnu Majah no. 1676 dan Tirmidzi no. 720. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[8] Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Bajuri, 1: 556.
[9] Kifayatul Akhyar, hal. 251.
[10] Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.
[11] Lihat bahasan dalam Al Iqna’, 1: 408 dan Syarh Al Baijuri, 1: 559-560.
[12] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251.
[13] Hasyiyah Al Baijuri, 1: 560.
[14] Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.
[15] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah 28: 59-60 dan Shohih Fiqih Sunnah, 2: 108
[16] Kewajiban kafarah tersebut dijelaskan pada hadits Abu Hurairah berikut, “Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa
 sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” 
Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istriku, padahal aku 
sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau 
merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu 
‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan
 berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu
 ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan 
kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah 
berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami 
dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi 
wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut 
lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa 
sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria
 tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih 
miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin
 di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi 
taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, 
“Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan 
Muslim no. 1111)
Lihat juga pembahasan Syaikh As Sa’di dalam Manhajus Salikin, hal. 113.
dari http://www.lampuislam.blogspot.com/
.jpg) 
 
 
 








