A. Pengertian galungan
Hari Raya Galungan - Kata “
Galungan” berasal dari bahasa
Jawa Kuna yang artinya
menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan
dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut
Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut
Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan
Legi sementara di Bali disebut
Umanis, yang artinya sama:
manis.
Hari raya
Galungan merupakan hari suci agama hindu berdasarkan
pawukon, deperingati setiap
210 hari (6 bulan) sekali yaitu pada hari
Rabu Kliwon Wuku Dungulan.
Hari raya
Galungan juga disebut hari
Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan kepada
Sang Hyang Widhi Wasa karena telah diciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga
Galungan merupakan
hari kemenangan dharma melawan adharma. Hari raya
Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sudah sejak
abad XI. Hal ini didasasarkan antara lain :
Kidung panji malat rasmi dan
pararaton kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India dinamakan hari raya
Sradha Wijaya Dasami.
Di
Bali sebelum pemerintahan raja
Sri Jaya Kasunu, perayaan
galungan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena itu raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah
Sri Haji Jaya Kusunu baik tahta dan juga setelah mendapatkan pawarah-warah dari
Bhatari Durga atas permohonannya, maka
Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada
Galungan Buwung atau tidak ada galungan batal.
B. Runtutan Pelaksanaan Upacara Galunagan
1). Tumpek Wariga
Yaitu 25 hari sebelum
Galungan yang jatuh pada hari
sabtu kliwon Wuku Wariga.
Tumpek wariga ini juga disebut dengan nama
Tumpek Pengatag, pengarah, Bubuh, dan uduh, yang intinya mohon keselamatan pada semua jenis-jenis tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil bekal merayakan
Galungan.
2). Hari Sugihan Jawa
Sugihan Jawa dilaksanakan setiap
dua ratus sepuluh hari pada hari
Kamis Wage wuku Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya
Galungan. Perayaan ini bermakna memohon kesucian terhadap
bhuana agung(alam semesta). Kata
Sugihan berasal dari urat kata
Sugi yang artinya membersihkan dan
Jaba artinya luar, jadi
Hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah
pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala.
Dalam lontar
Sundarigama dijelaskan: bahwa
Sugihan Jawa merupakan
"Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik
pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai
Brahma Pura.
3). Hari Sugihan Bali
Sugihan Bali dilaksanakan
setiap 6 bulan skali pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu
5 hari sebelum perayaan Galungan. Perayaan ini bertujuan
untuk memohon kesucian terhadap diri pribadi (bhuana Alit), sesuai dengan lontar Sundarigama:
"Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (
Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.
4). Hari Penyeban
Penyekeban jatuh pada hari
minggu/radite Paing Wuku Dunggulan yaitu 3 hari sebelum Galungan. Hari ini merupakan awal
Wuku Dungulan yang bermakna
patutu waspada, karena para
bhuta kala (
Sang Tiga Wisesa) mulai turun menggoda kemampuan dan keyakinan manusia dalam wujud bhuta Galungan. Dalam lontar sundarigama di sebutkan
“anyengkuyung Jnana Sudha Nirmala” agar terhindar dari godaan-godaannya.
Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan
Brata atau
Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya
nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.
5). Hari Penyajaan Galungan
Hari penyajaan Galungan jatuh pada
hari Senin Pon Wuku Dungulan,
2 hari sebelum hari raya Galunga. Hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat
jajan. Juga dimaksudkan sebagai hari-hari yang patut diwaspadai terhadap godaan
sangkala Tiga Wisesa dalam wujud
Bhuta Dungulan. Hari penyajaan bermakna sebagai hari kesungguhan hati untuk menyambut dan merayakan Galungan.
Pada hari ini umat mengadakan
Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar
Sundarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan
Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.
6). hari Penampahan Galungan
Penampahan Galungan jatuh pada
hari Selasa Wage Wuku Dungulan yaitu
sehari sebelum prayaan Galungan. Pada hari ini dilaksanakan untuk memotong hewan, membuat
sate dan
lawar untuk perlengkapan sesajen. Pada hari ini juga patut diwaspadai, karena merupakan hari terakhir bagi
Sang Kala Tiga dalam wujud sebagai
Amangkurat untuk menggangu manusia. Hindarkan diri dari pertengkaran agar terhindar dari godaannya. Bagi ibu-ibu dan remaja putri saat ini dipergunakan untuk mengatur sesajen yang akan dipersembahkan besoknya, sedangkan pada sore hari setelah selesai memasak diselenggarakan
upacara Mabyakala yakni untuk memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (
Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.
Ini sesuai dengan
lontar Sundarigama yaitu ;
"Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari
Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri.
Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di
Madya Mandala untuk Memohon
Tirta dari
Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia
Buta Kala di Bhana Agung dan
Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan
Nyomya Bhuta Kala-
Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dan setelah itu dan lanjut para bapak-bapak atau pemudannya mulai memasang
penjor.
7). Hari Raya Galungan
Galungan jatuh pada
hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan, merupakan puncak upacara peringatan kemenangan dharma melawan
adharma sebagai hari
Pawedalan Jagad dengan mempersembahkan upacara sesajen pada setiap tempat-tempat suci dilanjutkan dengan tempat sembahyang, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
8. Manis Galungan
Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan
Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.
8). Hari Pemaridan Guru
Pemaridan Guru jatuh pada
hari Sabtu Pon Wuku Dungulan, hari terakhir Wuku Dungulan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari penyucian diri dan dilanjutkan dengan memohon keselamatan ditandi dengan memakan sisa yajna berupa tumpeng guru secara bersama-sama sekeluarga.
maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya
Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "
tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya loka.
B. Kuningan
Hari Kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setip 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, yaitu setiap hari
Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, 10 hari setel;ah hari raya Galungan, dan Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditunjukan pada para dewa agar turun melaksanakan penycian serta mukti atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Penyelenggaraan upacara kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong kebarat.
Semua upacara sebagai simbul kesemarakan, kemeriahan, terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang yang diperadegkan seperti tamiyang kolem, ter, endogan, wayang-wayang, dan lain sejenisnya.
Tujuan pelaksanaan upacara Kuningan ini adalah untuk memohon kemerosotan, kedirgahyun serta perlindungan dan tuntunan lahir batin.
Lihat Tentang Hari Raya Kuningan Lebih Lanjut